Toba (reportase) : Dibalik gegap gempita pembangunan yang sering diagungkan sebagai tanda kemajuan bangsa , terselip luka panjang yang ditanggung masyarakat kecil.Fenomena mafia tanah yang bersekutu dengan kepentingan modal besar kerap menjadikan desa, kebun, dan sawah sebagai arena rebutan.Ironisnya, dalam kasus kasus terkini, yang menjadi sorotan adalah praktik penggusuran di Amborgang, Sumatera Utara. Sebuah kawasan yang semestinya menjadi ruang hidup warga, namun kini mulai dikepung oleh kepentingan bisnis alat berat dan jaringan spekulan tanah.
Kedatangan traktor itu sudah didepan mata. Citranya menjadi begitu kelam. Deru suaranya memekakkan gendang telinga. Traktor tersebut berjalan menyisir jalan dan dijegat oleh warga. Warga sudah mengantisipasinya dengan meletakkan papan kayu jati untuk menghambat lajunya traktor. Keributanpun terjadi dan ini merupakan buntut dari kasus mafia tanah yang tengah terjadi di Amborgang, Toba Samosir. Mereka menolak eksekusi tanah yang dilakukan ombudsman dan satpol PP serta preman yang menghancurkan tanaman hingga rumah mereka, warga Amborgang.Selain itu, warga Amborgang menangis dan memohon agar traktor tersebut tidak menggusur rumah mereka yang sudah ditempati mereka berpuluh tahun lamanya. Tapi sayang, putusan pengadilan Negeri Balige berkata lain. Pihak pebisnis yang hendak mengambil alih lahan seluas 25 hektar tersebut menang secara hukum.Pebisnis itu mengatas namakan dirinya Raja Nauli Mangan.
Alat berat terdengar riuh, ceruknya menghancurkan tanah, rumah, pepohonan. Warga Amborgang menjerit dan terisak tangis melihat eksekusi lahan mereka. Mafia tanah kerap menggunakan hukum untuk menjerat petani miskin di Amborgang.Beberapa mejerit lantas pingsan. Tak tertahankan mendengar deru mesin alat berat itu menyapu lahan pertanian mereka. Pertanyaanpun muncul, mengapa masih ada pengusaha traktor mengizinkan pengrusakan lahan secara kasar dan mendukung mafia tanah?
Menurut dinas perhubungan, traktor memiliki kalsifikasi perizinan sebagai alat berat yang wajib memiliki SRAB (Sertifikat Registrasi Alat berat), SIO (Surat Izin Operator), hingga dokumen AMDAL. Hal ini diutarakan dalam menghadapi aspek keselamatan warga & lingkungan.
Namun kenyataannya, traktor dipakai tidak sebagaimana fungsinya bagi negeri. Ia dipakai sebagai alat eksekusi dilahan sengketa.Pengusaha traktor pun tidak peduli legalitas proyek, hingga koneksi dengan oknum pejabat & cukong tanah.Selain itu penegakan hukum sangat lemah di lapangan.
Mendapati hal tersebut, United Tractors Group, yang merupakan member alat berat ASTRA menolak dengan tegas penyalahgunaan traktor secara ilegal.Berkacamata dari kasus Amborgang.Traktor menurut UT memiliki Code Of Conduct yang jelas menyebutkan bahwa perusahaan dan semua departmennya harus “comply with applicable laws and regulations”.Bagi UT, berusaha di alat berat traktor harus memiliki transaparansi dan akuisisi properti. Perusahaan harus berpihak pada lingkungan, ESG hingga Sustainbility. “Perusahaan harus berbakti bagi masyarakat dan alam itu sendiri.” Ujar Frans Kusuma , Head Of Corporation United Tractors Group.
“ Traktor semestinya mendukung ketahanan pangan & program food estate, mengembangkan pula infrastruktur dan sektor pertanian.” Tambahnya.
“Alat mesin konstruksi setidaknya digunakan untuk meningkatkan sumber daya manusia ; alat berat digunakan untuk penyelenggaraan pelatihan yang terkait pengoperasian alat berat dan aspek keselamatan kerja (k3) yang memperkuat kapasitas lokal yang memerlukan dukungan Pembangunan.
Alat berat juga seyogyanya memberi kontribusi ekonomi melalui penyerapan kerja dan peningkatan kapasotas lokal, mendukung industrialisasi dan Pembangunan nasional.” Ujar Djony Bunarto, Head of Corporation Astra International tbk.
Kasus mafia Tanah di Amborgang seharusnya perlu ditindaklanjuti bagi pengusaha traktor agar keberadaan alat berat tersebut tidak menjadikan trauma bagi petani dan rakyat miskin di negeri ini.
Kasus Amborgang memperlihatkan bagaimana ketidakadilan struktural bekerja. Warga yang sudah berpuluh tahun tinggal di atas tanah warisan nenek moyang tiba tiba dianggap sebagai pendatang illegal.Surat tanah mendadak muncul ditangan korporasi atau individu berpengaruh.Penggusuran berlangsung tanpa belas kasih.
Amborgang hanyalah satu potret kecil dari persoalan agraria di negeri ini.Namun dari sana kita bisa belajar, bahwa tanah bukan sekedar komoditas, melainkan ruang hidup, identitas dan warisan yang tak ternilai.Jika pengusaha traktor tak segera berbenah, melepaskan diri dari praktik mafia tanah, dan Kembali pada fungsi sejatinya sebagai mitra pertanian, maka kritik public akan semakin tajam, bahkan menjelma gelombang perlawanan sosial yang lebih luas.
Sumber foto : Facebook
Liputan Halomoan Sirait